Akhirnya naik gunung lagi. Dari dulu rencana naik gunung, tapi ga jadi-jadi. Pertama rencana ke Semeru tapi batal, terus ganti ke Lawu tapi ga jadi, ke Sindoro - Sumbing - Ungaran semua ga jadi. Ke Sikunir juga ga jadi. Akhirnya Merbabu aja dah :D
Awal mula rencana mau mendaki melewati wekas lalu turun lewat selo, tapi ga jadi juga, hahahah. Keputusan terakhir, kita naik lewat selo turun selo juga. Ini kedua kalinya mendaki lewat jalur ini.
Kamis, 15 Agustus 2013
Hari ini kami memutuskan untuk berangkat. Ternyata kondisiku tidak seperti yang aku kehendaki. Semalam tubuhku meriang, mungkin capek karena beberapa hari terakhir melakukan banyak perjalanan bersama teman-teman. Berhubung segala sesuatu sudah kami persiapkan, ya sudah tidak apa aku tetap berangkat.
Kami bertiga (Aku, Latip, dan Popon) berkumpul di tempat Desta. Sekitar pukul 12 siang kami berangkat menuju kawasan Selo, Boyolali. Kusuruh Desta mengendarai motor di depan, aku membonceng karena kupikir aku tidak kuat berkendara di depan.
Sekitar 90 menit perjalanan kami sampai di kawasan Selo, ternyata membonceng di belakang membuatku mual. Karena kondisi yang tidak baik dan jalan yang turun naik. Ah tidak apa-apa. Lalu kami beristirahat sejenak di sebuah warung pinggir jalan, mengisi perut dan mempersiapkan bekal pendakian.
Sesudah selesai kami melanjutkan perjalanan ke basecamp Selo. Tak lama setelah itu kami sampai. Kami beristirahat dan mempersiapkan diri. Tampak beberapa pendaki sedang turun kemudian memasuki basecamp. Sapaan hangat menyambut kami di kaki gunung itu. Sejenak kami mengorbol dengan mereka.
Semua barang bawaan sudah siap, kami berpamitan pada para pendaki ada di basecamp itu. Tiba-tiba ada 2 orang pendaki yang menyapa, "Mas, dari Jogja ya?" lalu kujawab "Iya, mas" lalu mereka menanyakan sebuah nama (aku lupa) seseorang yang berasal dari jogja juga. Namun kujawab itu bukan rombongan kami. Lalu mereka mempersilahkan kami untuk naik duluan, nanti mereka menyusul.
Memasuki permulaan pendakian yang lebat akan pohon pinus serta semak belukar. Melihat keatas langit berwarna abu-abu, berharap semoga tidak hujan. Sesekali bertemu pendaki lain yang sedang turun, mereka menyapa dengan hangat. Kami terus melangkah dan senja mulai menyusul. Di belakang kami terlihat 2 pemuda yang tadi bertanya sewaktu masih di basecamp. Kami beristirahat sejenak dan mengobrol. Mereka berasal dari Bandung dan Semarang (aku lupa namanya). Sewaktu tadi di basecamp mereka menunggu seseorang yang berasal dari Jogja yang juga mau ikut mendaki. Tapi ternyata tidak datang. Usai bercakap, mereka ingin melanjutkan perjalanan. Tapi kita masih istirahat dulu, kami bilang nanti akan menyusul.
Perjalanan kami lanjutkan, langkah pelan serta nafas yang kian memburu. Keringat serta dingin udara malam meresap melalui pori-pori hingga menusuk tulang. Semakin dalam menyusuri pepohonan, menjejak ilalang yang sudah terbelah. Mengikuti jejak para pendaki yang tertinggal di tanah.
Malam semakin larut, kabut semakin tebal. Aku berhenti sejenak, kuambil headlamp dari dalam carrier. Tubuh mulai menggigil, pandangan mulai terbatas. Namun waktu tidak berhenti, kami harus berpacu dengannya. Kembali melangkah pelan, memijak bumi mencengkeram debu yang terbang, diantara bulirnya terdapat oksigen. Kami menghirupnya
Kamis, 15 Agustus 2013
Hari ini kami memutuskan untuk berangkat. Ternyata kondisiku tidak seperti yang aku kehendaki. Semalam tubuhku meriang, mungkin capek karena beberapa hari terakhir melakukan banyak perjalanan bersama teman-teman. Berhubung segala sesuatu sudah kami persiapkan, ya sudah tidak apa aku tetap berangkat.
Kami bertiga (Aku, Latip, dan Popon) berkumpul di tempat Desta. Sekitar pukul 12 siang kami berangkat menuju kawasan Selo, Boyolali. Kusuruh Desta mengendarai motor di depan, aku membonceng karena kupikir aku tidak kuat berkendara di depan.
Sekitar 90 menit perjalanan kami sampai di kawasan Selo, ternyata membonceng di belakang membuatku mual. Karena kondisi yang tidak baik dan jalan yang turun naik. Ah tidak apa-apa. Lalu kami beristirahat sejenak di sebuah warung pinggir jalan, mengisi perut dan mempersiapkan bekal pendakian.
Sesudah selesai kami melanjutkan perjalanan ke basecamp Selo. Tak lama setelah itu kami sampai. Kami beristirahat dan mempersiapkan diri. Tampak beberapa pendaki sedang turun kemudian memasuki basecamp. Sapaan hangat menyambut kami di kaki gunung itu. Sejenak kami mengorbol dengan mereka.
Semua barang bawaan sudah siap, kami berpamitan pada para pendaki ada di basecamp itu. Tiba-tiba ada 2 orang pendaki yang menyapa, "Mas, dari Jogja ya?" lalu kujawab "Iya, mas" lalu mereka menanyakan sebuah nama (aku lupa) seseorang yang berasal dari jogja juga. Namun kujawab itu bukan rombongan kami. Lalu mereka mempersilahkan kami untuk naik duluan, nanti mereka menyusul.
Memasuki permulaan pendakian yang lebat akan pohon pinus serta semak belukar. Melihat keatas langit berwarna abu-abu, berharap semoga tidak hujan. Sesekali bertemu pendaki lain yang sedang turun, mereka menyapa dengan hangat. Kami terus melangkah dan senja mulai menyusul. Di belakang kami terlihat 2 pemuda yang tadi bertanya sewaktu masih di basecamp. Kami beristirahat sejenak dan mengobrol. Mereka berasal dari Bandung dan Semarang (aku lupa namanya). Sewaktu tadi di basecamp mereka menunggu seseorang yang berasal dari Jogja yang juga mau ikut mendaki. Tapi ternyata tidak datang. Usai bercakap, mereka ingin melanjutkan perjalanan. Tapi kita masih istirahat dulu, kami bilang nanti akan menyusul.
Perjalanan kami lanjutkan, langkah pelan serta nafas yang kian memburu. Keringat serta dingin udara malam meresap melalui pori-pori hingga menusuk tulang. Semakin dalam menyusuri pepohonan, menjejak ilalang yang sudah terbelah. Mengikuti jejak para pendaki yang tertinggal di tanah.
Malam semakin larut, kabut semakin tebal. Aku berhenti sejenak, kuambil headlamp dari dalam carrier. Tubuh mulai menggigil, pandangan mulai terbatas. Namun waktu tidak berhenti, kami harus berpacu dengannya. Kembali melangkah pelan, memijak bumi mencengkeram debu yang terbang, diantara bulirnya terdapat oksigen. Kami menghirupnya
Tanjakan bagai benteng yang berdiri kokoh berderet rapi di depan kami. Semakin malam jarak pandang kian pendek, kabut kian menebal.
Dari langit tetesan air mulai jatuh. Aku kira hujan, ternyata embun. Makin berjalan keatas angin semakin kencang. Embun mulai banyak yang menetes, kami harus segera sampai di tanah datar, lalu mendirikan tenda.
Dari langit tetesan air mulai jatuh. Aku kira hujan, ternyata embun. Makin berjalan keatas angin semakin kencang. Embun mulai banyak yang menetes, kami harus segera sampai di tanah datar, lalu mendirikan tenda.
Kami terus melangkah sampai bertemu dengan 2 orang pemuda tadi, beristirahat serta membuka sebagian bekal ringan. Mengobrol sejenak untuk mematikan rasa lelah sesaat. Dingin mulai menyerang ketika kami tidak banyak bergerak, namun di tempat itu embun tidak banyak menetes.
Tidak lama kemudian kami melanjutkan perjalanan. Melangkah melewati pohon-pohon edelweiss yang tumbuh di sekitar jalur pendakian. Medan berjalan berupa jalur air yang kering, beberapa titik berupa bongkahan batuan yang cukup terjal. Kami berjalan terus mendekati padang sabana, namun pandangan sangat terbatas karena kabut.
Langkah kami berhenti, memasuki area sabana. Sabana sepi sekali, tidak seperti yang aku bayangkan karena malam ini mendekati tanggal 17 Agustus. Ternyata di tempat itu hanya ada kami dan kedua pemuda tadi. Mungkin besok para pendaki akan memenuhi tempat ini. Saat itu jam menunjukan sekitar pukul 21.00. Kami mencari pepohonan untuk berlindung dan mendirikan tenda jika terjadi badai. Kami membongkar carrier, mengeluarkan peralatan tenda yang kami bawa. Angin bertiup semakin kencang. Tetes demi tetes air turun kian deras. Hujan gerimis menemani kami saat mendirikan tenda saat itu. Dingin semakin meresapi kulit yang kian menggigil. Tenda berdiri, kami berlindung disana. Malam itu kami berteman dengan badai.
Tidak lama kemudian kami melanjutkan perjalanan. Melangkah melewati pohon-pohon edelweiss yang tumbuh di sekitar jalur pendakian. Medan berjalan berupa jalur air yang kering, beberapa titik berupa bongkahan batuan yang cukup terjal. Kami berjalan terus mendekati padang sabana, namun pandangan sangat terbatas karena kabut.
Langkah kami berhenti, memasuki area sabana. Sabana sepi sekali, tidak seperti yang aku bayangkan karena malam ini mendekati tanggal 17 Agustus. Ternyata di tempat itu hanya ada kami dan kedua pemuda tadi. Mungkin besok para pendaki akan memenuhi tempat ini. Saat itu jam menunjukan sekitar pukul 21.00. Kami mencari pepohonan untuk berlindung dan mendirikan tenda jika terjadi badai. Kami membongkar carrier, mengeluarkan peralatan tenda yang kami bawa. Angin bertiup semakin kencang. Tetes demi tetes air turun kian deras. Hujan gerimis menemani kami saat mendirikan tenda saat itu. Dingin semakin meresapi kulit yang kian menggigil. Tenda berdiri, kami berlindung disana. Malam itu kami berteman dengan badai.
Jumat, 16 Agustus 2013
Suara langkah kaki dari luar tenda terdengar. Kubuka mata, kulihat jam di handphone menunjukkan sekitar pukul 01.00. Beberapa rombongan yang tadi berkemah di bawah ternyata akan mendaki puncak saat pagi buta. Rupanya badai sudah berhenti.
Aku perlahan keluar tenda, mencari semak untuk buang air kecil. Setelah itu aku berjalan ke sekitar. Melihat ke langit, ternyata malam itu bertabur bintang sepertinya esok akan cerah. Kemudian aku kembali ke dalam tenda, niatnya melanjutkan tidur tapi prakteknya gagal.
Adzan Subuh berkumandang dari handphonenya latip. Kami terbangun, sesaat setelah itu mempersiapkan kompor portable untuk membuat minuman hangat. Menyeduh kopi dan jahe panas di dalam tenda sambil mengumpulkan nyawa yang terpencar entah kemana. Beberapa saat kemudian latip keluar tenda, dan memanggilku bahwa matahari sebentar lagi akan terbit. Aku beranjak, menggulung sleeping bag yang aku kenakan. Tertatih melangkah keluar tenda, tampak segaris warna jingga yang tipis membentang di arah timur. Angin yang berhembus lemah namun rasanya menembus tulang. Kaki membelah rumput lebat sambil bergetar karena dinginnya pagi itu.
Saat fajar pun datang, kilau cahaya menghujani bumi. Embun mulai terbakar menguap beserta angin yang hangat. Bukit-bukit pucat menjelma berwarna emas. Hangat matahari mengusir dingin yang merajam tubuh sejak malam tadi. Terimakasih Tuhan, Engkau memberikan pagi yang indah di tempat ini.
Langkah kami hanya sampai tempat ini, tidak melanjutkan sampai ke puncak karena kondisi serta waktu yang terbatas. Pagi itu sekitar pukul 09.00 kami turun, di dalam perjalanan bertemu dengan banyak rombongan yang akan merayakan HUT-RI di Gunung Merbabu. Tetap Semangat kakak!, Merdeka! :)
Aku perlahan keluar tenda, mencari semak untuk buang air kecil. Setelah itu aku berjalan ke sekitar. Melihat ke langit, ternyata malam itu bertabur bintang sepertinya esok akan cerah. Kemudian aku kembali ke dalam tenda, niatnya melanjutkan tidur tapi prakteknya gagal.
Adzan Subuh berkumandang dari handphonenya latip. Kami terbangun, sesaat setelah itu mempersiapkan kompor portable untuk membuat minuman hangat. Menyeduh kopi dan jahe panas di dalam tenda sambil mengumpulkan nyawa yang terpencar entah kemana. Beberapa saat kemudian latip keluar tenda, dan memanggilku bahwa matahari sebentar lagi akan terbit. Aku beranjak, menggulung sleeping bag yang aku kenakan. Tertatih melangkah keluar tenda, tampak segaris warna jingga yang tipis membentang di arah timur. Angin yang berhembus lemah namun rasanya menembus tulang. Kaki membelah rumput lebat sambil bergetar karena dinginnya pagi itu.
Saat fajar pun datang, kilau cahaya menghujani bumi. Embun mulai terbakar menguap beserta angin yang hangat. Bukit-bukit pucat menjelma berwarna emas. Hangat matahari mengusir dingin yang merajam tubuh sejak malam tadi. Terimakasih Tuhan, Engkau memberikan pagi yang indah di tempat ini.
Langkah kami hanya sampai tempat ini, tidak melanjutkan sampai ke puncak karena kondisi serta waktu yang terbatas. Pagi itu sekitar pukul 09.00 kami turun, di dalam perjalanan bertemu dengan banyak rombongan yang akan merayakan HUT-RI di Gunung Merbabu. Tetap Semangat kakak!, Merdeka! :)