Februari 27, 2012

New Friends From Singapore & Netherlands






Rainy trip to Borobudur
photo taken by me and Rukii Naraya with my yashica lynx 5000e & Lucky BW 100 film

Februari 26, 2012

Ganjuran Temple






octopus purple (pn 919s) - kodak gold 200 (expired 2004)
with black and white process, use micro mf (developer) color effect without software

Februari 24, 2012

Pine





Yashica Lynx 5000e - Lucky BW 100

Februari 17, 2012

Tugu & Candi Kalasan (2011)









film : lucky bw 100
exposure : 2-3s

Februari 16, 2012

Tamansari (Water Castle Yogyakarta) 2011







film : kodak colorplus 200
exposure : 2-4 s

Februari 08, 2012

Yang Tertinggal Dari Sisa Kemegahan


















Dua jam perjalanan dari kotaku, aku bersama seorang temanku bernama Taufan Kharis menjejakkan kaki di kota ini, Ambarawa.  Ya, sebuah kota di Jawa Tengah yang kaya akan cerita heroik di masa lampau.
Siang hari kami sampai. Matahari terik menyengat kulit dan kendaraan kian merapat di badan jalan. Angkot berlomba menyambut penumpang dan membuat perjalanan kian kacau. Dan tentunya macet. Tak beda jauh dengan kotaku. Entahlah.
Lolos dari kemacetan, kami berhenti sejenak di depan sekolah Islam (namanya aku lupa). Sembari menghela nafas aku menghubungi mas Todung Gultom seorang sahabat dari salatiga yang sebelumya telah sepakat dan bersedia memandu kami mengunjungi sebuah tempat. Sebuah tempat yang menarik perhatian kami hingga berada di kota ini.  Usai bercakap di telepon , dia menyuruh kami menuju RSUD kota.
Perjalanan kami lanjutkan. Sesekali kami bertanya pada orang sekitar. Lalu setelah beberapa menit perjalanan, kami sampai. Aku turun dari kendaraan. Perhatianku tertuju pada sebuah gapura berwarna kuning muda bebentuk persegi panjang, disampingnya ada lambang-lambang polisi militer dan diatasnya bertuliskan “BENTENG RT 07 - RW 11 WR. LANANG-LODOYONG AMBARAWA”. Aku berjalan, mendekati gapura itu. Dari jalan memang tak terlihat benteng apapun, hanya terlihat jelas tulisan di gapura. Namun ketika aku berdiri dibawahnya, aku melihat sang raksasa sedang terbaring nyenyak diantara hamparan sawah dekat RSUD kota. Wow...
Kemudian aku kembali menghubungi mas Todung, lalu dia menyuruh kami masuk di dalam benteng. Dia sudah berada di dalam.  Tak sabar, kami pun bergegas melewati jalan setapak yang belum di aspal. Selang beberapa meter kami sampai di pintu masuk. Kami bertemu dia beserta Mas Fajar di dalam.
Sejenak kami bertanya tentang benteng itu. Ternyata sampai saat ini masih dipakai, namun tentunya bukan dipakai oleh tentara Belanda atau Jepang. Yang dipakai bagian benteng sebelah sana (entah arah mana, saya buta arah disana..hehe) yang jelas intinya setengah wilayah benteng  berfungsi sebagai Lapas kelas IIA. Dan sebagian lagi digunakan oleh para sipir penjara/para orang militer untuk tempat tinggal. Hmmm..
“Untuk tempat tinggal”, itulah kalimat yang semakin membuat saya tertarik untuk melanjutkan langkah.  Kami naik ke lantai atas. Menapak tangga kayu tua yang tampaknya belum juga lapuk. Setelah sampai atas aku mengamati sekitar. Tembok yang kokoh berdiri menyambut kami, tampak lusuh dan catnya kian terkikis oleh lumut. Suasana sepi sekali, lembab, dan basah ditambah suara cicitan kelelawar atau burung walet membuat suasana kian kelabu (walaupun pada akhir kunjungan sewaktu mau pulang aku tahu bahwa suara itu bukan asli namun berasal dari pengeras suara yang dipasang oleh orang situ, mungkin biar tambah pas..tak usah dipasang kyk gitu hawanya sudah horror pak).
Aku turun, mencoba mengamati bagian bawah. Sesekali kami bertemu seorang warga. Mereka tersenyum ramah. Ini membuat suasana menjadi bersahabat. Hal ini berarti  bahwa kedatangan kami tidak mengganggu mereka. Saat itu aku sempat bepikir kenapa mereka tinggal disana? Apakah tidak ada tempat lain? Apakah pemerintah tidak memberi fasilitas kepada mereka? Apakah tempat bersejarah boleh untuk tempat tinggal? Ah..Entah..... hanya mereka, pemerintah dan Tuhan yang tahu jawabannya.
Pada saat datang aku tidak tahu apakah nama tempat itu. Yang kutahu hanyalah Benteng Ambarawa. Setelah pulang kusempatkan untuk mencari informasi. Ternyata tempat itu bernama Benteng Pendem Ambarawa atau lebih tepatnya Benteng Willem I. Sebuah benteng yang unik dan berbeda dengan benteng lain di Indonesia, salah satunya dengan benteng Vredeburg di kotaku. Keunikan terletak pada banyaknya jendela yang ada, lebih mirip lawang sewu. Ternyata benteng ini dibuat bukan untuk pertahanan namun untuk penyimpanan logistik dan barak militer.
Dibuat pada tahun 1834 dan selesai tahun 1845 pada masa pemerintahan Kolonel Hoorn. Pada tahun 1865 mengalami kerusakan karena terkena gempa bumi. Mungkin itu menjadi penyebab utama parahnya benteng itu sampai sekarang dan kurangnya perawatan setelah beberapa kali berganti fungsi.  Pada tahun 1853-1927 benteng ini berfungsi sebagai barak militer KNIL. Lalu pada tahun 1927 itu juga berubah menjadi penjara tahanan dewasa dan penjara tahanan politik. Kemudian tahun 1942 – 1945 dikuasai Jepang. Dan pada tanggal  14 Oktober – 23 November 1945 menjadi markas besar TKR ( Tentara Keamanan Rakyat). Lalu pada tahun 1950 kembali menjadi penjara sampai sekarang.